Beranda | Artikel
Hukum Al-Hadatsah, Perang Terhadap Bahasa Arab
Senin, 12 November 2007

HUKUM AL-HADATSAH, PERANG TERHADAP BAHASA ARAB YANG MERUPAKAN BAHASA AL-QUR’AN

Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa pendapat anda tentang Al-Hadatsah ?

Jawaban
Setelah mendapatkan penjelasan dari para hadirin tentang hal itu, Syaikh Ibn Utsaimin berkata :

Pertama. Al-Hadatsah menurut yang kami pahami hanyalah perang terhadap Bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an. Dan yang saya pahami dari ucapan kalian bahwa ada di antara orang-orang Arab yang memungkiri kearaban mereka. Tentu tidak dapat disangkal lagi, bahwa tidak ada orang berakal sehat yang ridha dengan tindakan seseorang yang mengingkari bahasanya sendiri apapun bahasanya. Oleh karena itu, anda perhatikan bahwa bangsa Inggris demikian senang dan bergembiranya begitu bahasa mereka digunakan oleh mayoritas penduduk dunia sebagai bahasa internasional karena penggunaan bahasa dan eksisnya suatu bahasa artinya eksisnya pemiliknya.

Sementara mereka itu (para penyeru kepada Al-Hadatsah) justru ingin membunuh diri mereka sendiri dengan melenyapkan bahasa sendiri padahal itu berarti mereka telah melenyapkan eksistensi mereka dan menjadi orang-orang yang berada di tengah manusia namun tidak menyadari kearaban mereka dan juga bahasa mereka yang merupakan bahasa yang paling sempurna di dunia sejak Allah menciptakan dunia ini hingga hari ini.

Kedua. Dari ucapan kalian saya pahami bahwa mereka itu juga ingin melenyapkan agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nashrani. Mereka tidak rela menjadi orang-orang Islam, Yahudi ataupun Nashrani. Karena orang ini (Islam, Yahudi atau Nashrani, pent.) berafiliasi kepada agama, sementara mereka menurut apa yang telah aku dengar dari penjelasan kalian tidak menginginkan afiliasi kepada apapun yang sudah lama (usang) sekalipun ia adalah Dienullah dan Syari’atNya.

Tidak dapat disangkal lagi bahwa perbuatan ini merupakan bentuk atheisme total yang persis dengan perbuatan orang yang disebutkan dalam firmanNya,

Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), ‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. [Al-An’am/6 : 29]

Orang yang berakal tidak meragukan lagi bahwa perbuatan ini adalah bentuk riddah (keluar dari Islam), yang terhadap pelakunya harus dipaksa bertaubat, bila dia mau, maka sanksinya gugur dan bila tidak, maka wajib dibunuh karena dia sudah murtad. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Barangsiapa yang telah mengganti agamanya, maka bunuhlah dia” [Hadits Riwayat Bukhari, Al-Jihad 3017]

Ketiga : Yang saya pahami dari ucapan kalian juga bahwa mereka ingin melenyapkan setiap akhlak yang baik selama ia merupakan sesuatu yang lama karena kaidah yang mereka pakai wajib dikenai kepada segala sesuatu; agama, akhlak, bahasa, dan semisalnya. Jadi, setiap akhlak yang baik dan lurus wajib dilenyapkan, maka ketika itulah seseorang akan terpisah bahkan dari kemanusiaannya, untuk kemudian menyusul perilaku binatang-binatang asing yang bilamana pejantannya ingin melakukan hubungan seksual dengan betina, dia langsung saja melakukannya sementara binatang-binatang lain sesama pejantan hanya menyaksikan saja dan bila ia menginginkan apa saja, tidak ada suatu hambatan pun yang mencegahnya untuk mendapatkannya.

Keempat : Dan yang saya pahami dari laporan kalian bahwa Al-Hadatsah berpakaian dengan pakaian kemunafikan dan inilah petaka besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman mengenai orang-orang munafik,

Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka: semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran).” [Al-Munafiqun/63 : 4]

Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman mengenai setan,

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh kamu, maka jadikanlah (posisikanlah) ia sebagai musuh.” [Fathir/35 : 6]

Dan siapa saja yang merenungi perbedaan antara dua cara tersebut (di dalam dua ayat tersebut, pent), maka dia akan mendapatkan bahwa orang-orang munafik itu lebih besar bahayanya terhadap kaum mukminin daripada setan-setan.

Wahai kaum muslimin, wajib bagi kita melalui sentuhan imani untuk mengajak mereka itu dengan ajakan yang tulus dan ikhlas agar kembali kepada Dienullah , kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Demikian pula, memberikan argumentasi akurat kepada mereka bahwa perbuatan itu semata-mata adalah kekufuran. Jika tidak ada sesuatu yang mempan, maka wajib bagi kita dan bagi para pengelola urusan kaum muslimin (pemerintah/-penguasa) agar menggunakan perangkat kekuasaan terhadap mereka, berlandaskan kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya sehingga racun yang mematikan ini tidak menyebar ke seluruh jasad umat Islam.

Dan manakala kita sudah berupaya melenyapkan narkotika yang merupakan kewajiban kita dikarenakan ia membunuh semangat dan kejantanan serta merusak akhlak, maka kewajiban kita lebih dan lebih lagi di dalam melenyapkan aliran yang kotor ini daripada upaya melenyapkan narkotika, miras dan akhlak-akhlak tidak terpuji.

Hendaklah para pemuda kita yang memiliki intelektualitas agar menjelaskan apapun yang tersembunyi di balik tirai pengubahan Uslub (gaya bahasa) di dalam An-Nuzhum (puisi-puisi) dan An-Nutsur (prosa-prosa) serta menyingkap makna-makna yang telah kalian sebutkan kepada sadara-saudara kalian disini, yang tersembunyi di balik tirai ini. Jadi, permasalahan ini sangatlah serius selama demikian kondisinya.

Jadi, permasalahan yang sebenarnya, bukanlah sekedar menggubah Uslub bait seperti,

Berhentilah kalian berdua disini, mari kita menangis guna mengenang seorang kekasih dan rumah .
Yang berada di ‘Siqthi al-Liwa’ yang terletak antara Dakhul dan Haumal

Menjadi ucapan yang berbentuk prosa yang tidak diketahui mana awal dan akhirnya. Juga, yang di antara makna-maknanya tidak ada korelasinya dan tidak ada kesesuaian di antara lafazh-lafazhnya. Sebab, pada dasarnya jauh dari dikatakan sebagai ungkapan yang fasih dan kosong dari seni Balaghah.

Subhanallah, bila hati telah terbalik, seakan melihat cacat menjadi baik. Sebab bila bukan demikian, siapapun yang mem-baca sya’ir-sya’ir seperti ini akan mengetahui bahwa ia bukanlah sya’ir. Bagaimana tidak, ada seseorang langsung merangkai satu paragraf penuh yang tersusun dari kata-kata dan paragraf berikutnya tersusun dari sepuluh kata, apakah yang seperti ini dapat dikatakan sebagai sya’ir? Mana sya’ir yang biasanya mampu menggugah perasaan? Mana puisi-puisi yang menawan dan disukai jiwa? Akan tetapi di sini, kami tidak ingin menyebutkan contoh yang kiranya cocok dengan selera seperti ini.

Kita bermohon kepada Allah agar mereka diberi hidayah, mengembalikan mereka ke jalan yang haq, melindungi kami dan kalian dari fitnah yang menyesatkan serta menjadikan kita termasuk orang yang melihat kebenaran sebagai kebenaran lantas mengikutinya, dan melihat kebatilan sebagai kebatilan lantas menjauhinya.

(Majmu’ Durus Wa Fatawa al-Haram al-Makki, Juz.ll, h. 113-115, dari fatwa Syaikh ibn Utsaimin)

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2269-hukum-al-hadatsah-perang-terhadap-bahasa-arab-yang-merupakan-bahasa-al-quran.html